Gerbang utama memasuki kompleks makam Andi Pattiware dan Datu Sulaeman, di desa Pattimang, Kecamatan Malangke, Kabupaten Luwu Utara, Sulawesi Selatan. |
Sebuah desa kecil nan terpencil menyimpan kejayaan masa lalu kerajaan
Luwu.
DESA Pattimang sedang
bersolek. Gerbang utama kompleks situs pemakaman Datu Sulaiman dan Andi
Patiware dicat ulang. Di kiri-kanan jalan dihiasi walasuji atau bambu yang dirajut dengan indah, hingga terlihat
seperti pagar. Di depan gerbang
utama itu, penduduk mendirikan bangunan dari atap daun sagu, seakan membungkus
badan jalan, sebagai tempat melakukan manre
sappera atau makan bersama sepanjang 1 kilometer.
Persiapan melakukan hajatan manre sappera itu berlangsung selama
seminggu. Menghidangkan sekitar 110 jenis makanan tradisional dan dihadiri
puluhan raja dari se-Nusantara.
Manre
saperra merupakan ritual
Datu Luwu untuk menunjukkan ikatan batin bersama rakyatnya. Makanan akan
dihidangkan di atas kain putih panjang yang bersih sebagai wujud kebersihan
hati dan kepudulian raja dan rakyat. Dan sebagai wujud tanggung jawab, Datu
Luwu-lah yang kali pertama menyantap makanan namun paling terakhir disuguhi
makanan.
Pemilihan lokasi di desa Pattimang,
yang terletak 30 kilometer dari pusat kota kabupaten Luwu Utara, Sulawesi
Selatan ini, bukanlah secara kebetulan. Ada pertimbangan sejarah dan budaya. Di
Pattimang, ketika dipimpin Andi Patiware, Luwu mencapai puncak kejayaan.
Saat itu, Luwu memindahkan pusat
kerajaan dari Ussu ke Pattimang pada abad ke-15. Pattimang merupakan daerah
subur. Potensi pertaniannya berupa sagu sebagai makanan utama bisa menopang
populasi besar. Sementara persediaan besi, emas, dan hasil alam dari hutan pedalaman
mudah dikapalkan melalui Sungai Baebunta
dan Sungai Rongkong. Bahkan di sana ada industri senjata besi dan alat-alat
pertanian. Pelabuhan utama di Cappasolo dibangun begitu megah, sehingga bisa
dilalui kapal-kapal dengan tonase besar. Pengaruh Luwu begitu luas hingga
kerajaan Wajo dan bahkan Bantaeng. Kerajaan Gowa dan Bone bersusah-payah keluar
dari pengaruhnya.
Laporan arkeologis
dari proyek OXIS (Origin of Complex
Society in South Sulawesi) yang dilakukan arkeolog Universitas Hasanuddin Iwan Sumantri bersama David F Bullbeck (Australian
National University) dan Bagyo Prasetyo (Pusat Penelitian Arkelogi Nasional) tahun
1998, kemudian dirangkum dalam buku Kedatuan Luwu,
menyatakan bila pusat kerajaan masa itu sangat gemilang. OXIS menggambarkannya
dari rumah raja yang begitu mewah dan anggun. Ini diperkuat dari hasil
penggalian di Pattimang yang menemukan sebuah lubang pancang (post holes) untuk tiang rumah besar dengan
panjang sekitar 5 meter.
“Saya kira itu sesuai
dengan cerita dan tradisi lisan masyarakat Luwu kalau rumah itu sangat besar,”
kata Iwan Sumantri. “Penggambaran mereka, kalau ada seekor anak ayam naik ke
tangga rumah kerajaan, saat ayam itu turun tajinya sudah tumbuh panjang.”
Memasuki abad ke-16, muncul konflik di
beberapa wilayah. Kerajaan-kerajaan yang berada dalam koloni dan bawahan Luwu
mulai unjuk kekuatan. Christian Pelras dalam The Bugis menulis periode pertama kemunduran Luwu dimulai ketika
memasuki 1500-1530. Wajo menyerang Luwu. Sebagai
akibatnya, Luwu akhirnya mengakui Wajo sebagai “adik”, bukan lagi sebagai ata’ atau bawahan.
Di sisi lain Bone dan Gowa tumbuh
sebagai kekuatan baru. Luwu meminta
bantuan kerajaan Wajo untuk menyerang Bone, yang berakhir kekalahan. Payung kebesaran
sebagai panji-panji kerajaan Luwu dan kebanggaan kerajaan ditahan oleh Bone. Supremasi
Luwu benar-benar meredup.
Pada 1535 Gowa-Tallo secara
mengejutkan menundukkan Bone. Mereka kemudian menyerang Luwu tepat di
jantungya, yang membuat Luwu bertekuk lutut dan terpaksa menandatangani
perjanjian dan pengakuan kekalahan dari Gowa.
Pada abad ke-17 dermaga utama di
Cappasolo menjadi sepi. Pusat kerajaan Luwu berpindah dari Pattimang ke Ware
(sekarang Palopo). Saat itu Luwu dikenal sebagai daerah netral karena
menghindari perselisihan dengan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan. Secara
spiritual, selama beberapa abad, Luwu yang sudah kehilangan wilayah kekuasaan
dan pengaruhnya di Sulawesi Selatan juga dianggap sebagai kerajaan mulia.
Posisinya sebagai kerajaan pertama dan pusat mitos yang dikisahkan dalam epik I La Galigo memberinya peruntungan.
Ketika Abdul Makmur (Dato ri’ Bandang), Sulaiman (Dato ri’ Pattimang), dan Abdul Jawad (Dato ri’ Ditiro) –ketiganya orang
Minangkabau yang belajar agama di Aceh– menyebarkan Islam atas perintah Sultan
Johor, dakwah mereka mengalami pertentangan di Makassar. Akhirnya mereka menuju
Luwu dan mengislamkan Andi Patiware pada 5 Februari 1605. Salah satu kronik
Wajo mencatat bila para penyebar agama Islam menuju Luwu karena mengetahui
kemuliaan yang sebenarnya berada di Luwu, meski kekuasaan berada di Gowa.
Tapi kedamaian tersebut tak bertahan
lama. Pada Oktober 1905 Belanda memasuki Palopo. Belanda akan membatalkan
segala kebijakan istana yang merugikan mereka dan mewajibkan kerajaan memberikan
hasil pajak. Sejak itu, Kerajaan Luwu seolah menghilang dari kancah politik di
Sulawesi Selatan hingga menjelang 1930-an muncul seorang pemuda bernama Andi
Djemma, Datu Luwu ke-29, yang melakukan perlawanan.
Imam Desa Pattimang, Andi Topatonangi, di depan makam Andi Pattiware Raja Luwu ke 15. Pattiware adalah raja pertama yang menerima agama islam di Sulawesi Selatan. |
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan
Indonesia, Andi Djemma membentuk Gerakan Sukarno Muda. Karena desakan Belanda, dia
meninggalkan istana. Di Cappasolo, bersama Tentara Keamanan Rakyat yang hanya
mengandalkan persenjataan minim, dia memimpin perang gerilya pada 23 Januari
1946, yang kemudian dikenang sebagai Hari Perlawanan Semesta Rakyat Luwu. Setelah
sempat bersembunyi di Benteng Batu Putih, Sulawesi Tenggara, dia terpaksa
menyerah dan diasingkan ke Ternate.
Budayawan Luwu, Anthon Andi Pangerang,
mengatakan bila perayaan manre sappera
untuk mengenang Andi Djemma sebagai wujud kecintaan dan pejuangannya kepada
Indonesia. Nasar itu diucapkan di Cappasolo di masa revolusi bahwa jika Indonesia
benar-benar merdeka, dia akan menggelar hajatan itu.
“Ini adalah cita-cita besar dan kami
sebagai masyarakat Luwu, memiliki kewajiban untuk menunaikannya,” kata Anthon.
Setelah acara rampung Pattimang akan
kembali sepi. Termpatnya memang terpencil. Akses kendaraan umum hanya sekali
sehari. Kebesaran yang nyata dalam bentuk fisik di Pattimang hanya tersisa nisan
makam Datu Sulaiman dan Andi Patiware yang terbungkus kain putih. Relif dan
ukiran-ukirannya sudah tak tampak lagi. Ketika saya sedikit menyingkap kain
itu, terlihat beberapa bekas pecahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar