Minggu, 05 Januari 2014

SEJARAH SINGKAT ABDUL KAHAR MUZAKKAR


SEJARAH SINGKAT
Abdul Kahar Muzakkar
(ada pula yang menuliskannya dengan nama Abdul Qahhar Mudzakkar; lahir di Lanipa, Kabupaten Luwu, 24 Maret 1921 – meninggal 3 Februari 1965 pada umur 43 tahun; nama kecilnya La Domeng) adalah seorang figur karismatik dan legendaris dari tanah Luwu, yang merupakan pendiri Tentara Islam Indonesia di Sulawesi. Ia adalah seorang prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang terakhir berpangkat Letnan Kolonel atau Overste pada masa itu.

Ia tidak menyetujui kebijaksanaan pemerintahan presiden Soekarno pada masanya, sehingga balik menentang pemerintah pusat dengan mengangkat senjata. Ia dinyatakan pemerintah pusat sebagai pembangkan dan pemberontak.

Pada awal tahun 1950-an ia memimpin para bekas gerilyawan Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara mendirikan TII (Tentara Islam Indonesia) kemudian bergabung dengan Darul Islam (DI), hingga dikemudian hari dikenal dengan nama DI/TII di Sulawesi Selatan dan Tenggara.

Pada tanggal 3 Februari 1965, melalui Operasi Tumpas, ia dinyatakan tertembak mati dalam pertempuran antara pasukan TNI dari satuan Siliwangi 330 dan anggota pengawal Kahar Muzakkar di Lasolo. Namun tidak pernah diperlihatkan pusaranya, mengakibatkan para bekas pengikutnya mempertanyakan kebenaran berita kejadiannya. Menurut kisah, jenazahnya dikuburkan di Kilometer 1 jalan raya Kendari.

Letnan Kolonel Abdul Kahar Muzakkar

Tertembaknya Kahar Muzakkar

TEPIAN Sungai Lasolo, Sulawesi Tenggara, menjelang dini hari 2 Februari 1965. Dalam kegelapan, satu regu pasukan dari Batalyon 330 Kujang I, asal Kodam Siliwangi, tersesat kehilangan arah. Beberapa jam sebelumnya, kompas perlengkapan regu yang dipimpin Pembantu Letnan Satu Umar Sumarna itu tiba-tiba rusak.

Para prajurit yang semua berasal dari Jawa Barat itu hanya tahu, mereka tengah berada di ketinggian. Sementara Sungai Lasolo, yang menjadi penanda arah, berada di lembah di bawah mereka. ”Kami benar-benar nyasar dan harus melakukan upaya survival,” kata Ili Sadeli, kini 64 tahun, seorang anggota regu yang tersesat itu, kepada Sulhan Syafi’i dari Gatra.

Tiga puluh enam tahun telah berlalu tapi Sadeli, yang ditemui dirumahnya di Desa Sukamandi, Kecamatan Soreang, Kabupaten Bandung, masih mengingat jelas pengalamannya. Menurut Sadeli, ketika terang tanah, tiba-tiba saja pasukannya melihat di sungai ada beberapa orang tengah mencuci beras. Yang lebih mengagetkan: muncul pula beberapa pria berpakaian hijau dan memanggul senjata.

Tahulah mereka bahwa tujuan perjalanan jauh mereka –dari Jawa Barat hingga Makassar– telah makin dekat. Regu Umar Sumarna adalah bagian dari bantuan pasukan asal Kodam Siliwangi pada Komandan Operasi Kilat pemberantasan gerakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Panglima Kodam Hasanuddin, Brigadir Jenderal Andi Muhammad Jusuf.

Karena yakin yang terlihat itu adalah kelompok DI/TII Kahar Muzakkar, Umar memerintahkan 18 anggota pasukannya untuk menggelar strategi penyerangan ke perkampungan tempat kediaman kelompok itu. Ili Sadeli, yang ketika itu berpangkat kopral dua, bersama lima anak buahnya, ditugasi berjaga di sepanjang jalan setapak menuju sungai.

Rupanya, Umar berjaga-jaga jika ada anggota kelompok Kahar yang melarikan diri ke arah sungai. Ketika malam tiba, ke-13 prajurit regu Umar Sumarna mulai merangsek ke perkampungan pasukan DI/TII. Dini hari 3 Februari, terjadilah baku tembak antara regu Umar dan pasukan DI/TII. Ketika itulah, lima anak buah Ili Sadeli meninggalkan posnya di jalan setapak, untuk ikut menyerbu.

Sadeli, yang sendirian dan masih bersembunyi di sebuah pohon besar dihalangi semak-semak, tiba-tiba mendengar suara tapak kaki yang melintas. Tapi, orang pertama ini lewat melenggang. ”Saya tegang, senjata pun macet,” kata Ili Sadeli. Tak berapa lama, terdengar satu lagi langkah kaki mendekati tempat Ili Sadeli. Kali ini, muncul sosok bertubuh tegap.

Ketika makin mendekat, terlihat jelas orang itu berkepala sedikit botak, berkacamata, dan raut mukanya bersih serta rambutnya ikal. ”Wah, wajahnya persis seperti terlihat di foto Kahar Muzakkar,” bisik Sadeli. Semula Sadeli mau menyergapnya. Tapi, karena orang itu membawa granat, akhirnya Sadeli memilih memuntahkan peluru dari jarak dua meter.

Tiga peluru pun terlontar menembus dada. Orang itu langsung tersungkur di depan Ili Sadeli, tepat pukul 06.05 WIB. ”Kahar geus beunang… hoi, Kahar geus beunang (Kahar sudah tertangkap),” Sadeli berteriak. Mendengar teriakan Sadeli yang berulang-ulang, regu Umar pun bergegas memeriksa mayat itu.

Di ransel kecil korban ditemukan beberapa dokumen DI/TII, yang menunjukkan bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar, yang selama ini dicari. Toh, keberhasilan regu Umar Sumarna, dan Ili Sadeli, tak lantas mengakhiri sejarah Kahar Muzakkar. Kontroversi mengenai kematian Kahar justru muncul setelah penembakan ini.

Sebab, banyak anak buah dan pendukung Kahar yakin, yang ditembak oleh Ili Sadeli bukanlah Kahar yang sebenarnya. Kahar yang asli, menurut mereka, telah lenyap menyembunyikan diri. Kontroversi inilah yang terus berkembang hingga 36 tahun setelah penembakan oleh Ili Sadeli ini (baca: Reinkarnasi Kontrarevolusi).


Jusuf Menolak Memberitahu

Ketidakjelasan di mana jenazah Kahar Muzakkar dikuburkan juga menambah kecurigaan bahwa Kahar tak benar-benar mati. Hasan Kamal Muzakkar, 52 tahun, anak sulung Kahar dari istrinya, Corry van Stenus, mewakili keluarganya pernah datang pada M. Jusuf untuk meminta keterangan tentang makam ayahnya. Tapi, Jusuf menolak memberitahu.
Jenderal M. Jusuf

”Menurut Jusuf, kalau letak kuburan Kahar diketahui masyarakat, makamnya akan disembah dan dikeramatkan. Itu syirik,” kata Hasan Kamal Muzakkar kepada Gatra. Membisunya M. Jusuf soal makam Kahar ini menyebabkan di masyarakat muncul banyak versi tentang di mana sebenarnya letak makam Kahar.

Salah satu versi menyebutkan, berdasarkan salah satu sumber intelijen di TNI Angkatan Darat, ketika jenazah dibawa ke Jakarta, sebenarnya ada dua peti jenazah. Satu dibuang ke laut, satu peti lainnya dibawa lagi ke Makassar dan dimakamkan di taman makam pahlawan. Ini menyebabkan sebuah kuburan tak bernama di sebelah kiri gerbang taman makam pahlawan dianggap sebagai kuburan Kahar Muzakkar.

Versi lain datang dari KH Mas’ud, kerabat dekat Kahar Muzakkar. Menurut versi ini, makam Kahar Muzakkar sebenarnya terletak dekat sebuah pohon besar di dekat jalan menuju Bandara Makassar. Semua kesimpangsiuran mengenai letak makam Kahar –kalau jenazahnya benar dikuburkan– membuat kepercayaan tentang masih hidupnya Kahar terus terpelihara.

Hingga kini, sebagaimana dilaporkan wartawan Gatra Zaenal Dalle, di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, tempat kelahiran dan basis perjuangan Kahar, pendatang perlu berhati-hati bila bercakap bahwa Kahar telah wafat. Sebab, bisa-bisa akan kena damprat penduduk setempat yang fanatik pada Kahar, dan percaya ia masih hidup.

Pada 1989, sebuah jajak pendapat yang dilakukan seorang mahasiswa Universitas Hasanuddin memperoleh hasil yang mengejutkan. Jajak pendapat itu mengambil sampel 200 responden, warga Makassar berusia 19-23 tahun –yang tentu saja tak bersentuhan langsung dengan gerakan DI/TII. Hasilnya; 75% yakin bahwa Kahar Muzakkar masih hidup!

Toh, bagi istri kedua Kahar, Corry van Stenus, kini 78 tahun, kematian suaminya adalah sebuah kepastian. Ia memang tak menyaksikan langsung jasad Kahar. Tapi, bagi Corry, isyarat perpisahan dari Kahar jauh lebih ia percayai. Ketika pasukannya mulai berkurang, Kahar sempat meminta Corry bersembunyi bersama anak bungsunya, Abdullah Mudzakkar, yang baru berusia delapan tahun.


Isyarat Perpisahan

”Saya titipkan untukmu satu peleton pasukan inti. Pergilah,” kata Kahar. Lalu Corry pun diantar Kahar ke salah satu puncak Gunung Kambiasu. Ketika akan berpisah, Kahar tidak bisa menahan tangis. Ia memeluk Corry dan berkata, ”Istriku, barangkali inilah pertemuan kita yang terakhir di dunia ini. Selanjutnya, biarlah kita bertemu di akhirat.”

Bagi Corry, ucapan Kahar itulah isyarat perpisahan dari Kahar. Kepada Corry, Kahar tak berpesan banyak. ”Jaga kesehatanmu, Corry. Bimbing dan pelihara anakmu baik-baik, agar jadi anak yang saleh. Bertawakallah kepada Allah. Itu saja pesan Kahar,” kata Corry dengan nada sedih. Saat berpisah, Kahar memeluk Abdullah erat-erat.

Corry mengenang, Kahar, yang terkenal berwatak keras, ketika itu tak sanggup membendung kesedihannya yang mendalam. Hingga, berkali-kali Kahar kembali mengejar Corry sekadar untuk memberikan salam perpisahan. Tiga bulan setelah peristiwa itu, Corry membaca kabar kematian Kahar dari ribuan pamflet yang disebarkan dari helikopter.

Corry pun turun gunung, dan berusaha mengejar jenazah Kahar yang dibawa ke Pakoe. Tapi, M. Jusuf –yang bertanggung jawab atas jenazah Kahar– melarang Corry melihat jenazah suaminya. ”Jusuf bilang, apa perlunya melihat jenazah Kahar. Toh, jenazahnya sudah diangkut dengan heli menuju Makassar,” kata Corry.

Beruntung, sebelumnya M. Jusuf sempat memanggil dua anak Kahar, Abdullah Ashal dan Farida, yang ditemani suaminya, Andi Semangat, untuk melihat jenazah Kahar di Rumah Sakit Palemonia, Makassar. Berdasarkan cerita anak-anaknya itulah, Corry makin yakin bahwa jenazah itu adalah Kahar Muzakkar. Sebab, ada bekas eksem di kaki, leher, serta cambangnya.

Kahar, yang kelak penuh mitos ini, sebenarnya lahir dari keluarga biasa. Dengan nama Kahar, ia lahir pada 24 Maret 1921 di Kampung Lanipa, Luwu, Sulawesi Selatan, dari lingkungan keluarga Bugis-Luwu yang dikenal memiliki keberanian luar biasa. Kahar pun sejak kecil menunjukkan keberaniannya. Ia sangat suka main perang-perangan. Kalau berkelahi, ia tak pernah kalah.


Mengawal Soekarno

Ayah Kahar, yang bernama Malinrang, memiliki banyak sawah dan ladang. Walau tak berasal dari kalangan bangsawan, ayah Kahar memiliki kemampuan berdagang yang baik, sehingga punya banyak uang dan disegani masyarakat. Tapi uniknya, Kahar justru tumbuh menjadi remaja yang gemar main domino. Karena itu, orang menjuluki Kahar ”La Domeng”, alias tukang main domino.

Setelah tamat sekolah rakyat pada 1938, Kahar dikirim orangtuanya ke Solo, Jawa Tengah, untuk belajar di sekolah Mualimin Muhammadiyah. Konon, di sekolah inilah KH Sulaeman Habib, Mufti Besar Republik Persatuan Islam Indonesia (RPII) –negara yang didirikan Kahar– pertama kali bertemu tokoh ini.

Sulaeman Habib pulalah yang mengusulkan penambahan nama Kahar menjadi Abdul Kahar Muzakkar, mengambil nama seorang guru sekolah Mualimin, yang bernama Kahar Muzakkir. Namun, Kahar tak berhasil menamatkan sekolahnya di Solo. Setelah memperistri Siti Walinah, seorang gadis Solo, ia kembali ke kampung halamannya pada 1941.

Di Luwu, Kahar sempat bekerja di sebuah instansi Jepang, Nippon Dahopo. Tapi, sikap antifeodalisme dan antipenjajahan Kahar terlalu kental. Akibatnya, ia tak hanya dibenci Jepang, Kahar pun tak disukai Kerajaan Luwu. Kahar difitnah. Ia dituduh mencuri. Kerajaan pun menghukumnya dengan hukum adat: diusir dari Luwu.

Maka, untuk kedua kalinya, pada Mei 1943, Kahar meninggalkan kampung halamannya, balik ke Solo. Di kota ini, ia mendirikan toko Usaha Semangat Muda. Tapi, ternyata Kahar lebih tergoda oleh pergerakan kemerdekaan. Maka, setelah proklamasi 17 Agustus 1945, ia pergi ke Jakarta.

Di Ibu Kota, Kahar mendirikan Gerakan Pemuda Indonesia Sulawesi, yang kemudian menjadi Kebaktian Rakjat Indonesia Sulawesi. Di Jakarta pula Kahar membuktikan keberaniannya. Pada rapat raksasa di Ikada, 19 September 1945, ia ikut mengawal Soekarno.

Ir. Soekarno, Presiden Pertama RI


Menghadang Bayonet Jepang

Ketika Bung Karno dan Bung Hatta didesak untuk berpidato, tidak banyak orang yang berani berdiri di depan mobil. Tapi, Kahar termasuk segelintir pemuda yang nekat melepaskan dua tokoh itu dari kepungan bayonet tentara Jepang. Dengan berani, Kahar mendesak mundur bayonet-bayonet pasukan Jepang yang saat itu sudah mengepung kedua proklamator itu.

Pada Desember 1945, Kahar membebaskan 800 tahanan di Nusakambangan, dan membentuknya menjadi laskar andalan di bawah Badan Penyelidik Khusus, badan intelijen di bawah pimpinan Kolonel Zulkifli Lubis. Kahar juga mengikuti berbagai pertempuran penting untuk mempertahankan kemerdekaan. Tak mengherankan, karier Kahar di Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) makin menanjak.

Kahar, misalnya, dipercaya menjadi Komandan Persiapan Tentara Republik Indonesia-Sulawesi. Ia pun manjadi orang Bugis-Makassar pertama yang berpangkat letnan kolonel (letkol). Tapi, perjalanan karier Kahar ternyata tidak selamanya mulus. Ketika pasukan di luar Jawa direorganisasi menjadi satu brigade, Kahar tak ditunjuk sebagai pemimpin.

Yang ditunjuk adalah Letkol J.F. Warouw. Sedangkan Kahar hanya dipilih sebagai wakil komandan. Pada 1952, setelah berhasil menumpas pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan, Kahar menuntut Kesatoean Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS), yang terdiri dari 10 batalyon, secara otomatis dimasukkan ke dalam APRI dan menjadi Brigade Hasanuddin dibawah kepemimpinannya.

Tapi, Kolonel Kawilarang, Panglima Wirabuana saat itu, menolak. Kekecewaan Kahar pun memuncak. Ia meletakkan pangkat letkolnya di depan Kawilarang. Menurut Anhar Gonggong, sejarawan dari Universitas Indonesia, rentetan kegagalan itu membuat Kahar merasa gagal mengembalikan siri pesse (harga diri)-nya sebagai orang Bugis-Makassar.

Menurut analisis Anhar Gonggong, setelah 1953 itu, selain akumulasi siri pesse, ideologi Islam juga sudah mulai membentuk jati diri Kahar. Pada 3 Agustus 1953, Kahar dan KGSS-nya menyatakan bergabung dengan gerakan DI/TII Kartosoewirjo. Belakangan, pada 1962, Kahar membentuk RPII, yang terpisah dari DI/TII Kartosoewirjo.


Penghargaan Khusus untuk Corry

Kekerasan hati Kahar sebagai pejuang membuatnya menjadikan pernikahan juga sebagai bagian dari perjuangannya. Istri pertamanya, Siti Walinah, ia ceraikan karena tidak mau diajak berjuang di Sulawesi. Banyak pernikahan Kahar lebih dilandasi kepentingan perjuangan dari kepentingan lain. Secara keseluruhan, Kahar tercatat memiliki sembilan istri, dan 15 anak.

Tapi, dari semua istrinya, tampaknya Corry van Stenus-lah yang memiliki kedudukan paling istimewa. Sebab, sebagai istri, Corry mengizinkan Kahar menikah lagi berkali-kali. Alasan masing-masing pernikahan Kahar memang berbeda-beda. Boleh jadi, Corry mengerti dan menyetujui semua alasan Kahar menikahi banyak istri.

Ketika menikahi Corry van Stenus, misalnya. Kahar bermaksud mengislamkan dan mengajaknya ikut berjuang. Ketika memutuskan menikahi Siti Hami –yang dinikahi Kahar pada usia 60 tahun– Kahar berharap istrinya ini dapat membantu membiayai perjuangannya. Siti Hami memang memiliki kebun kopra sangat luas.

Istri lain Kahar, Siti Habibah, dinikahi untuk menjaga kehormatan istri panglimanya yang gugur dalam pertempuran. Kahar juga pernah menikahi salah satu istrinya sebagai simbol pendobrakannya pada nilai-nilai feodalisme. Walau bukan berasal dari kelompok bangsawan, Kahar sangat dihormati, sehingga banyak wanita bangsawan menawarkan diri untuk dipersunting.

Tapi, Kahar justru memilih Daya sebagai istri terakhirnya. Daya adalah gadis berusia 15 tahun dari suku Marunene, suku yang biasa dijadikan budak oleh bangsawan Bugis. Yang unik, Corry-lah yang melamar beberapa istri Kahar lainnya. Corry-lah yang melamar Siti Hami untuk Kahar. Bahkan, Corry memandikan Daya dengan tangannya sendiri, sebelum dinikahkan.

Untuk semua pengabdian Corry, Kahar punya penghargaan khusus. Dalam ceramah di depan para pendukungnya, Kahar selalu menegaskan, ”Sepeninggalku, kalian boleh menikahi semua bekas istriku, kecuali Corry. Haram hukumnya, karena riwayat hidup saya akan menjadi rusak.” Dan terbukti, dari semua istri Kahar, yang tidak menikah lagi hanya Corry van Stenus.


Meninggalkan 20 Buku

Corry berasal dari keluarga yang cukup terkemuka. Ayahnya seorang indo-Belanda, Adnan Bernard van Stenus. Sedangkan ibunya, Supinah, berasal dari Solo. Ketika Corry belajar di sekolah Belanda, Handel School di Solo, Kahar sudah tertarik padanya. Kahar tidak pernah absen menunggui Corry di Stasiun Balapan, Solo.

Corry, yang ketika itu tinggal di Klaten, biasa pulang-pergi dengan kereta api. Kehadiran rutin Kahar tentu dicurigai Corry. Apalagi, Kahar selalu menggodanya. Suatu kali, Kahar pernah mengambil penggaris dari belakang tas Corry. Setelah Corry naik kereta, barulah penggaris itu dikembalikan Kahar.

Belakangan, Kahar memberanikan diri mengirim utusan dan surat ke orangtua Corry. ”Saya pun dimarahi orangtua, karena berkenalan dengan orang Sulawesi,” Corry mengenang. Maklum, ketika itu sudah ada tiga pemuda lain yang melamar Corry: seorang dokter spesialis keturuan indo-Belanda, seorang kepala sekolah, dan seorang polisi.

Jelas saja lamaran Kahar ditolak orangtua Corry, yang lebih tertarik memilih dokter spesialis bernama Dapelaaf. Mendengar lamarannya ditolak, Kahar tidak mundur. Ia malah memanggil Dapelaaf. ”Kamu mau selamat atau tidak?” Kahar bertanya. ”Lebih baik mundur saja. Saya yang mau menikahi Corry dan membawanya berjuang di Sulawesi.”

Setelah Dapelaaf mundur teratur, Kahar pun memberanikan diri datang langsung ke orangtua Corry. Ia berterus terang ingin menikahi Corry. Tampaknya, orangtua Corry tertarik pada kesopanan, keberanian, dan wawasan Kahar. Apalagi, Kahar ternyata menguasai bahasa Belanda. Boleh jadi, kedudukan Kahar sebagai perwira penting APRI ikut mempengaruhi.

Lamaran Kahar pun diterima, karena mendapat dukungan dari keluarga ibu Corry, yang Islam. Tapi, Corry minta syarat, sebelum menikah, Kahar harus lebih dulu mendatangkan ulama yang bisa mengislamkan Corry, serta mengajarkan agama Islam. Setelah enam bulan, dan pandai mengaji, barulah Corry merasa siap. Keluarga yang dibangun Kahar dan Corry pun kemudian tak terpisahkan.

Walau tak banyak bertemu dengan Kahar, hampir semua anak Kahar merasa dekat dengan sang ayah. Abdullah Mudzakkar, anak bungsunya dari Corry, punya kenangan khusus tentang ayahnya. Seingat dia, ke mana-mana Kahar tak pernah lepas dari ransel kecil yang berisi dokumen, Al-Quran, hadis, dan buku harian.

Setiap waktu luang dipakainya untuk menulis. Tak mengherankan jika kemudian Kahar menghasilkan 20 buku tentang politik, Islam, dan ketatanegaraan. Menurut Anhar Gonggong, kualitas tulisan Kahar cukup baik. Misalnya, tidak kalah jika dibandingkan dengan tulisan Jenderal A.H. Nasution (almarhum).



Sumber:
Wikipedia.org

Kisah Sawerigading – Kisah Rakyat sulawesi Selatan



Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’, dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat, sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi, Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di
Sawerigading yang merupakan keturunan dewa) pertama kali diturunkan ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung. Sawerigading mempunyai saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng. Namun, sejak kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara terpisah, sehingga mereka tidak saling mengenal. Suatu ketika, saat bertemu dengan adik kandungnya itu, Sawerigading jatuh cinta dan berniat untuk melamarnya. Berhasilkah Sawerigading menikahi We Tenriabeng, saudara  kandungnya itu? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Sawerigading berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja bernama La Togeq Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri, yaitu satu dari golongan manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng, dan satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki bernama Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu), Sawerigading dan We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara kandung sendiri. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng istana sejak masih bayi. Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya
karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng. Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget mendengar kabar tersebut. “Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya Sawerigading dengan kaget. “Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan dan dipelihara di atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap
pengawal itu. Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara kembarnya yang disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi, Sawergading langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera memanggil putranya itu untuk menghadap. “Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan terbesar dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!” bujuk Raja Luwu Batara Lattu’. Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di Negeri Cina (bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone, Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip dengannya. “Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai. “Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’. Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya tidak benar, ia berbersedia menikah dengan Sawerigading.“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai, gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya,
aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We Tenriabeng. Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina, walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada orang tuanya karena tidak diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke Negeri Cina, Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu
welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan ombak besar di tengah laut. “Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai, besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara Lattu’. Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan
penyebabnya. Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas. Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu layar. “Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran. “Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,”
pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana. Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan, berangkatlah Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina. Dalam perjalanan, mereka menemui berbagai tantangan dan rintangan seperti hantaman badai dan ombak serta serangan para perompak.
Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat sampai di tujuan. Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We Cudai telah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk melihat langsung kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun memutuskan untuk
menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut mengiba kepadanya. “Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu
saya meninggal.” Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya. Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro
pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan We Cudai. “Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar serupa,” ucap sawerigading. Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh keluarga istana Kerajaan Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu. Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi. Utusan itu ketakukan saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera kembali ke istana untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai. Mendengar kabar tersebut, We Cudai pun berniat untuk membatalkan pernikahannya dan mengembalikan semua mahar Sawerigading. Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus penyamarannya sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud kedatangannya ke Negeri Cina. “Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap Sawerigading. “Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu adalah putra dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina. Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa sampai ke
Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:
“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku. Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan perawakaannya
serupa dengan putriku.”
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang duduk di
hadapan ayahandanya, We Cud i tampak gugup dan hatinya tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak lain adalah Sawerigading.
“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai tertunduk malu-malu.
“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu sendiri. Namanya Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta Raja Cina seraya memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin itu kepada putrinya.
Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya. Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan oleh We Cudai. Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We Tenriabeng. “Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran Sawerigading untuk mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja Cina. “Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira
Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai
malu-malu.
Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu. Demikian pula yang dirasakan Sawerigading karena lamarannya diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera kembali ke kapalnya untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada di perahu ke istana untuk keperluan pesta. Tiga hari kemudian, pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan tersebut.
Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang anak dan diberi nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya. Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya. Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih bayi. Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali menemui banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di tengah laut karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di Negeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang ajaran agama Islam. Sawerigading pun segera memerintahkan pasukannya untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi setelah pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya kembali ke Negeri Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas penghianatan pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam, Sawerigading bersama istrinya memutuskan untuk kembali ke Negeri Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi di Negeri Luwu. Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).
* * *
Demikian cerita Sawerigading dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran yang diterima dari sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Sawerigading yang senantiasa tabah dalam menghadapi berbagai rintangan dan cobaan untuk mencapai keinginannya, yakni menikahi We Cudai yang berada di Negeri Cina.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat
kerja cermat membawa berkah
kerja hemat membawa manfaat
kerja keras memberi puas
kerja tabah memberi tuah
kerja taat membawa berkat.
(Samsuni/sas/135/04-09)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari H. Abdul Muthalib dan Muhammad Yusran. 2003.
Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan 2. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Sawerigading,”
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sawerigading, diakses pada tanggal 4
April 2009.
Ahmad Maulana. “Mengenal Sosok Sawerigading,”
http://www.ahmadmaulana.com/2008/12/30/mengenal-sosok-sawerigading-lebih-jauh-part-i/,
diakses pada tanggal 4 April 2009.
Anonim. “Sawerigading,”
http://www.luwuutara.go.id/media/sawerigading.pdf, diakses pada
tanggal 4 April 2009.
Christian Pelras. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama
dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian
dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
Yusi Avianto Pareanom.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2002/04/08/IQR/mbm.20020408.IQR78481.id.html, diakses pada tanggal 4 April 2009.